- Home >
Posted by : Unknown
Minggu, 19 Oktober 2014
MAKALAH TENTANG ETOS KERJA
20 Oktober 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang Masalah
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan.
Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat
tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja
dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal.
Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari
kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat
kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya
dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam selain diperintahkan
untuk beribadah Allah memerintahkan untuk bekerja (berusaha).
Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain
mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih
pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai
Allah SWT.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadist sudah jelas tentang pekerjaan yang baik
dan bagaimana kita memperoleh rezeki dengan cara yang diridhai Allah
SWT. Hal ini sangat penting sekali dibahas, karena semua orang dunia ini
pasti membutuhkan makanan, sandang maupun papan. Disini pasti manusia
berlomba-lomba atau memenuhi kebutuhannya tersebut dengan bekerja untuk
mendapatkan yang diinginkan sehingga kita juga harus tahu, bahwa semua
yang kita dapatkan semuanya dari Allah SWT dan itu semua hanya titipan
Allah SWT semata. Sebagai umatnya diwajibkan mengembangkannya dengan
baik dan hati-hati. Untuk itu Hadist tentang Etos Kerja ini sangat diperlukan demi kelangsungan umat sehari-hari.
- B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka pemakalah merumskan
masalah yang akan di bahas dalam makalah ini antara lain sebagai
berikut:
- Apa Redaksi Hadist mengenai Etos Kerja Seorang Muslim?
- Bagaimana Penjelasan Mengenai Hadist Etos Kerja?
- Bagaimana Aspek – aspek pekerjaan dalam Islam?
- Bagaimana ciri –ciri etos kerja dalam Islam?
- Bagaimana Etika Kerja dalam Islam?
BAB 2
PEMBAHASAN
- A. Redaksi Hadis
حد يث أ بي هريرة رضي ا الله عنه قل: قل رسول ا لله صلى ا
لله عليه وسلم: لأن يحتطب احدكم حز مة على ظهره خير من أن يسأل احدا فيعطيه
او يمنعه
Abu hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang
itu pergi mencari kayu, lalu di angkat seikat kayu di atas punggungnya
(yakni untuk di jual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada
minta kepada seseorang baik di beri atau di tolak” (H.R Bukhari dan Muslim)[1]
- B. Penjelasan Hadis tentang Etos Kerja
Etos kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk melaksanakan suatu
pekerjaan dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu akan
terlaksana dengan sempurna walaupun banyak kendala yang harus diatasi,
baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung jawab yang tinggi.
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian,
watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja
dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem
nilai yang diyakininya. [2]
Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada
pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk
moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang
amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus,
dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah
terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut
sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil
dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan
(hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari
kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash
Shaad : 22)
- Aspek Pekerjaan dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
- 1. Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim
harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada
orang lain. Hal ini diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي
بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل
الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah
jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk
mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di
negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya,
lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan
wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah
lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang,
baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai
pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya
sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad,
mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
lainnya.
Para sahabat juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap
mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak
akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika
mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan
mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
- Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya
adalah kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist
berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء إثماً أن يضيع
من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله
ابن عمرو بن العاص.
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan,
baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang
lebih luas.
- Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
عن أنس قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة “
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin
menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan
pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai
sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi
yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar
bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
- 4. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah
dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan
kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan
terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut
:
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة , فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها ”
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim).[3]
- D. Ciri – Ciri Etos Kerja Islami
Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan
ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya
pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain :
- 1. Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan
bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai
tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun
kelompok.
- 2. Kemantapan atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan sifat
pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan
yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis.
Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
- 3. Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni
mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan
setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi
serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran
manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara
optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
- 4. Berkompetisi dan Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas
amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan
Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka,
berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh karena dasar
semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah
serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling
mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
- 5. Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya
mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal
perbuatan dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam. Tidak ada
kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada.
Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk
kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan,
mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara
terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
- 6. Disiplin atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang
berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam
Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah
merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam
konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji
adalah bagian dari dasar pentingnya sikap amanah.Janji
atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan
Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa dikatakan
mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia. Untuk
menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh
terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan
yang semestinya dipenuhi.
- 7. Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan
kesabaran sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah
merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus.
Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan
terbuka, dan sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi
secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan
mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan solusi daris
segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya yang
konsisten/istiqamah.
- Percaya diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa
yang merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara
nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan
aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh
sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri
merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha
pekerjaan.
- 9. Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang
mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang
dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan
mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau
tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal
yang sehat dan ‘urf (kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan
harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku hemat dan
efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal.
Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu
kikir atau bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan
kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya
hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut
akan berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki
kemanfaatan sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku
yang tidak bermanfaat.[4]
- E. Etika Kerja dalam Islam
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah
melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian,
keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak
mereka agar itqon dalam bekerja. Sebagaimana dalam awal tulisan
ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang
diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan
ketaqwaan.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan
usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa
nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam
sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda
bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari
tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan
tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT
agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan
menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti
hatinya.[5]
$ygr’¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=ÏÜö7è?
Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYã ¼ã&s!$tB
uä!$sÍ Ä¨$¨Z9$# wur ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# (
¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmøn=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r’sù
×@Î/#ur ¼çm2utIsù #V$ù#|¹ ( w crâÏø)t 4n?tã &äóÓx« $£JÏiB
(#qç7|¡2 3 ª!$#ur w Ïôgt tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ
264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak
bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.[6]
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa
merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka
taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti
mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan
pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan
individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang
harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan
bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap
pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan,
namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah
SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga
hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah,
kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan
sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap
agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh
dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka
harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi
suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.[7]
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
- Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
- Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
- Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
- Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
- Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi[8]
BAB 3
PENUTUP
- A. Kesimpulan
Etos kerja merupakan semangat untuk bekerja. Bekerja itu sendiri
merupakan melakukan usaha kegiatan untuk mencapai tujuan. Adapun hadist
mengenai etos kerja diantaranya: Hadist mengenai pekerjaan yang paling
baik, larangan meminta-minta. Adapun pekerjaan yang paling baik adalah
seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan apabila berdagang
ataupun berjualan yang bersih. Adapun pekerjaan yang kurang disukai
Allah SWT ataupun dilarang adalah meminta-minta atau mengemis.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya
keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk
bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras
memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
(2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3)
tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam
bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. (4)
tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya
dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. (5)
Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
End Of Post